Fenomena “Silent Quitting” Mengancam Produktivitas Dunia Kerja

​Jakarta – Istilah “silent quitting” atau “resign secara diam-diam” kini menjadi topik hangat yang banyak diperbincangkan di berbagai platform media sosial. Fenomena ini, yang bukan berarti karyawan benar-benar mengundurkan diri, melainkan hanya melakukan pekerjaan sebatas yang diminta tanpa inisiatif lebih, disinyalir menjadi respons terhadap kelelahan kerja atau burnout yang semakin masif.​

Apa Itu “Silent Quitting”? ​Secara sederhana, silent quitting adalah keadaan di mana karyawan memutuskan untuk tidak lagi melampaui tugas dan tanggung jawab yang ada di deskripsi pekerjaan mereka. Karyawan tetap memenuhi kewajiban dasar, datang tepat waktu, dan menyelesaikan pekerjaan, namun mereka menolak untuk mengambil tugas tambahan, bekerja lembur, atau menunjukkan antusiasme lebih yang bisa menguntungkan perusahaan.​

Fenomena ini pertama kali mencuat di Amerika Serikat dan kini merembet ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Banyak ahli berpendapat bahwa ini adalah cara pekerja untuk menetapkan batasan yang lebih sehat antara kehidupan pribadi dan profesional, terutama setelah masa pandemi yang membuat batas tersebut menjadi kabur.​Mengapa Fenomena Ini Muncul?​

Ada beberapa faktor utama yang diidentifikasi sebagai pemicu silent quitting:​

Burnout dan Kelelahan Mental: Beban kerja yang berlebihan, ekspektasi yang tidak realistis, dan jam kerja yang panjang seringkali membuat karyawan merasa lelah secara fisik dan mental.​

Kurangnya Apresiasi: Karyawan merasa usaha dan inisiatif ekstra mereka tidak dihargai, baik melalui kompensasi yang layak, promosi, atau pengakuan.​

Keseimbangan Hidup-Kerja yang Buruk: Setelah pandemi, banyak orang menyadari pentingnya memiliki waktu untuk diri sendiri dan keluarga. Silent quitting menjadi cara untuk menolak budaya kerja yang menuntut lebih.

​Pergeseran Nilai Generasi: Generasi muda, seperti Gen Z dan Milenial, cenderung memprioritaskan kesehatan mental dan keseimbangan hidup-kerja dibandingkan generasi sebelumnya.

​Dampak Bagi Perusahaan dan Karyawan​: Bagi perusahaan, fenomena ini bisa berdampak negatif pada produktivitas, inovasi, dan semangat tim. Tanpa inisiatif dan dedikasi ekstra, pertumbuhan dan kemajuan perusahaan bisa melambat. Di sisi lain, bagi karyawan, silent quitting dapat menjadi cara untuk mempertahankan kesehatan mental dan energi, meskipun ada risiko bahwa hal ini dapat memengaruhi peluang mereka untuk promosi di masa depan.​

Namun, beberapa pakar juga melihat ini sebagai sinyal penting bagi perusahaan untuk mengevaluasi kembali budaya kerja mereka. Alih-alih menyalahkan karyawan, para pemimpin diharapkan bisa menciptakan lingkungan kerja yang lebih suportif, menghargai kerja keras, dan mendorong komunikasi terbuka.

​Apakah Anda termasuk yang merasakan fenomena ini di tempat kerja? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar !! (YW)

Categories: , ,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *